
Di hari yang cerah ini, saya akan berbagi postingan berjudul Topeng Puisi yang di dalamnya terdapat kumpulan puisi.
Mengapa judulnya Topeng Puisi?
Ya. Pada dasarnya saya, Anda, kita semua mempunyai banyak topeng sekaligus.
Kita selalu bergonta-ganti topeng pada waktu dan tempat tertentu.
Sayangnya, ada dari kita yang belum menyadarinya. Seakan-akan kita hanya memiliki satu topeng saja. Mirisnya, kita menganggap bahwa kita yang mengendalikan topeng yang kita pakai. Padahal pada kenyataannya jarang yang begitu.
Kita dikendalikan oleh topeng kita sendiri. Kita dipaksa bergonta-ganti topeng.
Kita di hadapan orang tua, dipaksa memakai topeng anak. Kita di hadapan anak, dipaksa memakai topeng orang tua. Dan sebagainya.
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa kita dipengaruhi oleh lingkungan. Dan lingkungan memaksa kita memakai topeng yang dikehendaki. Apabila kita memakai topeng yang tidak sesuai, baik sengaja maupun tidak, maka ada efek yang siap menghampiri kita.
***
Dalam album ini, terdapat tujuh buah puisi terunyu yang pernah saya miliki. Puisi yang paling saya suka di deretan puisi ini ialah puisi berjudul bisik. Sebab dalam proses pembuatannya, saya benar-benar membayangkan keadaan yang amat mencekam di saat seorang anak kecil sembunyi dibalik reruntuhan bangunan.
Ia sembunyi dari tentara yang telah membunuh teman-teman sepermainannya, juga keluarganya. Serbuk Mesiu berhamburan di mana-mana. Suara bising pun tak cukup senyap hanya dengan menutup kedua telinga. Ketakutan menghantuinya, terlebih di hari itu juga ia melihat orang yang melahirkannya ditanami banyak peluru. Hingga tiba malam, hingga tiba keesokan harinya, akhirnya ia memberanikan diri di tengah keadaan yang ironi. Bagaimana tidak, di saat ia berharap ada bantuan yang datang, malah ia disambut oleh lautan darah. Di sana semuanya terbaring kecuali ia yang satu-satunya berdiri. Tak lama kemudian, beberapa tentara pencipta darah datang dan melihatnya.
***
Baiklah, berikut inilah ketujuh puisinya.
Topeng
Hanya memakai topeng sajaKau dikira manusia manja
Hanya berganti topeng saja
Kau dikata malas bekerja
Tak ada manusia tanpa topeng
Tiada topeng tidak terpakai
Merangkai topeng sudah biasa
Tanggalkan topeng pasti tak bisa
Topeng baik dan topeng jahat
Selamanya mereka tak rehat
Tak peduli sakit ataukah sehat
Yang penting mereka melekat
Hasan Askari, Lampung, 7 November 2019
Bisik
Saat serdadu datang menyerbuMembuyarkan tanah, batu, dan debu
Melucuti pakaian ibu dan babu
Meluncurkan peluru hingga ke kalbu
Kusembunyi ...
Sembunyiku menjauhi bunyi
Mendengar mereka ria bernyanyi
Suara nyaring iblis sebuny
Kutetap sembunyi ...
Hingga senja diam menyoja
Hingga bulan jauh berjalan
Tiba surya beri cahaya
Sangkurku ... tak lagi mendengkur!
Ada bisik nan mulai mengusik
Kau kuat mental! kau kekar fisik!
Maka aku ... keluar menelisik
Semuanya serentak menatap
Melihatku diam menetap
Saksikan kain, merah, dan gertap
Aku pun bisu, hanya mengetap
Hasan Askari, Lampung, 11 Mei 2019
Indahnya Alam
Indahnya alam menembus semestaSekali melihat, mulut diam tidak berkata
Jangan salahkan aku jika kucinta
Alam nan elok milik pencipta
Tapi kau hilangkan keindahannya agar perut penuh terisi
Tapi kau hancurkan keasliannya sebab kau larut dalam ambisi
Tapi kau lari dan enggan tuk bersaksi
Tapi kau ... ah ... alasanmu begitu basi
Kami, hanyalah anak jalanan
Kumpulkan uang hasil jualan
Habiskan waktu berbulan-bulan
Melihat kau : banyak persoalan
Ada apa di dalam sana?
Ada alamkah dalam istana?
Bisakah sedikit kau bijaksana?
Melihat kami; sungguh merana
Punya kaki, tidak celana
Hei ... apa yang kau lakukan ?
Sehingga kami belum makan
Hei ... apa yang kau kerjakan ?
Sehingga kami terabaikan
Berapa banyak janji kami nanti
Tapi satu pun tak kau taati
Berapa lama kami menunggu
Tapi selama ini kau seakan lugu
Tak sadarkah dirimu?
Bahwa rakyat belum kau jamu
Tak pintarkah dirimu?
Sehingga langkah harus kau putar
Sampai kapan ini terjadi?
Sampai kau puas tidak mengabdi?
Atau kau kenyang memakan padi?
Atau terputus uratmu nadi?
Kemarilah kau kunasihati:
Harap hati-hati!
Kami selalu mengamati
Hingga kau siap berbakti
Hingga kau benar-benar mati
Dan terkubur bersama tanah nan subur
Hasan Askari, Lampung, 7 Juli 2019
Jika Aku
Jika aku pulang ...Izinkan aku datang menumpang
Membawa tulang tertusuk pedang
Menembus urat arah melintang
Jika aku hilang ...
Jadilah elang terbang melayang
Atau bintang terang benderan
Agar kau gampang aku kan pandang
Jika aku mati ...
Adakah cinta di hati?
Atau cinta akan terhenti
Tinggalkanku bersama melati
Jika aku jika
Maka engkau luka
Aku akan duka
Sirna tatap muka
Hasan Askari, Lampung, 1 Juni 2019
Malam Ini
Malam ini aku berdua bersama diri sendiriBerbincang-bincang mengenai apa yang kami lakukan setiap hari
Sembari menunggu sinar mentari
Sembari memandang bulan sedang menari-nari
Ia bertanya kepadaku seolah aku telah mengerti
Ia tertawa bersamaku seolah kami kawan sejati
Ia menatap hitam mataku seolah waktu telah berhenti
Ia menangis di hadapanku seolah esok aku kan mati
Apakah ini sebuah tanda yang harus diamati
Ataukah jejak nan harus kuhapus dengan tajamnya belati
Tinggalkan semua lalu terbang bak merpati
Atau tebarkan harum seakan aku sang melati
Hasan Askari, Lampung, 15 September 2019
Masa Pintar
Mereka mulai membencimu satu per satuTermasuk aku yang dikau adalah satu
Tak terpecah bak intan terlempar batu
Mereka pikir: kau bukan sesuatu
Masa bodo dengan pengawal
Masa pintar air mendidih
Tiada akhir tanpa awal
Tiada senang tanpa sedih
Engkau berdua: bersama aku sendiri
Engkau sendiri, tanpa aku nan lari
Kita bersama, saling bersentuhan jari
Kita berpisah, tak ada kasih sinari
Dua jalur menusuk-nusuk dihati
Menjauhkan raga juga miliknya hati
Harap melekat, walaupun nanti
Detik per detik nantikan aku nan mati
Hasan Askari, Lampung, 26 November 2019
Salahku
Engkau adalah makhluk nan butaMenggali permata mengorbankan derita
Mencari cinta menggunakan dusta
Menggapai cita, tuk harta semata
Butamu lumpuhkan kaki
Membuatmu susah menapaki
Dan kau pasti kumaki
Mampus! Itulah rezeki
Kulihat kau mulai menangis
Meringis bagai pengemis
Terlunta bagai peminta
Dan linglung bagai pemulung
Enyahlah! walau kau lelah
Pergilah karena kusalah
Salahku dalam melihat
Benarmu berakal sehat
Hasan Askari, Lampung, 26 November 2019